Pages

Jumat, 31 Agustus 2012

Satu Cerita di Malam Ied #dinictionary



Menikmati tegukan terakhir dari cangkir kesayangan berisi coffeemix yang sudah dingin. Ingatanku melayang ke sepasang mata yang selalu menarik untuk diartikan maknanya, yang menurutku memiliki kesan berbeda bila sedang dilapisi kacamata minus. Mata yang seakan ingin bercerita tentang isi hati sang pemiliknya. Yang selalu berbinar tiap kali menatapku dan mampu membuatku merasa aku lah satu-satunya fokus utamanya di dunia ini. Saat itu begitulah yang kurasakan.

Aku mengumpulkan keberanian diri, mengingat malam itu. Dua malam sebelum Idul Fitri tahun lalu. Nyeri. Masih saja aku merasakan dada ini seperti tertusuk pisau. Walau aku belum pernah merasakan bagaimana rasanya tertusuk pisau sebenarnya. Pasti rasanya kurang lebih seperti ini. 

Seperti slide show yang diputar kembali.

Malam itu, setelah berjam-jam bercerita banyak hal tentang keseharian kita masing masing, seperti biasa, kau mengakhiri pembicaraan telpon dengan berbagai pesan rutin yang  sudah kuhafal diluar kepala beserta bagaimana aksen tegas yang tercipta didalam setiap intonasi penekanan kalimatmu, otoriter. Tapi karena selalu berulang setiap malam,  justru membuatku selalu tertawa tiap mendengarnya seperti sedang mendengarmu bercanda gurauan basi, tapi aku suka. 

Sangat suka. Dan aku selalu menyukai semua tentangmu.

Baru sekitar 15 menit telpon terputus, bahkan masih bisa ku ingat jelas ucapan selamat tidurmu dan  baru saja hendak melakukan rentetan isi pesanmu tadi, handphoneku bergetar lagi dan love song 311 pun terdengar. Tanpa membaca siapa yang menelpon, aku langsung tau itu kau. Segera ku jawab telpon mu sambil tersenyum penuh kemenangan, karena kau yang melanggar ucapanmu sendiri, bukannya tidur malah menghubungiku lagi. Dengan keyakinan penuh, aku mengira kali itu kau akan menggodaku dengan rentetan kata rindumu. 

Dan Aku Benar....

Benar, rentetan kata menjadi kalimat berisi kerinduan dan betapa rasamu sudah membuat otak dan hatimu bertengkar hebat. Ada bahagia seketika. Aku mendengarkan  dan menyimak dengan sejuta rasa yang sama. Tapi kali itu, aku yang berusaha menjawabmu dengan nada menenangkan. Meyakinkanmu bahwa kita bisa melewatinya, semuanya akan baik baik saja. Bahwa aku akan selalu ada untukmu.

Malam itu, aku bisa mendengar dengan sangat jelas, ada perih diantara kalimatmu. Ada jeda yang terdengar pilu diantara tarikan nafasmu, dan ada isakan tertahan diantara lemah suaramu. Seketika seperti ada bisikan dihatiku, sebentar lagi aku akan mendengar sesuatu yang tak mau aku dengar, tidak dari mu...

Malam itu, sekali lagi aku mendengar mu berbeda. Suatu keadaan yang tidak aku suka, kalau bisa aku tidak pernah mau menghadapinya. Perutku mulas seketika seperti terpelintir. Tidak! Jeritku dalam hati. Tidak lagi, aku tidak mau lagi mendengarnya. Tapi terjadi juga. 

Nyeri.... Nyeri yang sama bisa kurasakan kembali

Persis seperti beberapa bulan sebelum malam itu. Bedanya, saat itu kita berbicara langsung . Berhadapan. Kita membahas tentang kita, dari awal perkenalan kita, pertemuan kita. Tentang cinta kita. Dan Perbedaan kita. Yaaah, Perbedaan Keyakinan hidup kita. 
Tapi kali itu, secara langsung aku bisa menatap bias rasa kesakitan dari raut wajahmu yang sekuat mungkin kau coba sembunyikan. Bisa ku usap gurat penderitaan disana seolah disetiap helusanku bisa mengurangi sakitmu. Bisa kulihat betapa mata mu seperti memohon untuk tak ingin melihat aku bersedih. Kau coba menghentikan air mataku yang mulai membanjir, matamu mengejap menahan rasa sampai memerah.Akhirnya kita menangis bersama.
Diantara seduku  aku berusaha mengungkapkan betapa aku bisa merasakan yang kau rasakan. Terbata bata seiring isakan. Dan aku pun tak kuasa menahan diri, derita yang kita rasakan, bukan mau kita.
Dan saat itu, kita berjanji untuk meyakini ini bukan kebetulan. Tidak, tidak ada kebetulan atas kita. Diatas semuanya, kita memilih meyakini kita ditakdirkan bersama seperti ini. Dan aku benar benar memilih untuk yakin dan percaya itu. Percaya padamu. We can make it...
Aku percaya.....
(Dan seperti menanam tumbuhan rambat didalam tabung kaca. Indah terlihat. Merawatnya dengan kehati hatian terhadap satu hal yang bisa menghancurkannya. Menghindarkan. Menghindari. Yaaaa, Menghindar...
Terlupa bahwa sudah takdirnya, tanaman itu mulai merambat, berakar dan bertumbuh.  Bukan karna hanya karena benturan dari luar, tapi juga karena tanaman itu sendiri penyebabnya. Mulai mengusik tabung kaca yang kokoh tapi rentan itu. Pecah...)

Tapi malam itu, setelah mampu melewati masa masa bertumbuh nya rasa dan menikmati indahnya tentang kita, haruskan sekali lagi aku merasakan perasaan itu, tapi kali ini tanpa menggenggam tanganmu. Tidak ada kau dihadapanku, hanya suaramu yang ku dengar sayup tak bertenaga. Mendadak dingin menyelimuti dadaku, terasa darah turun dari kepala, kurasa panas dikelopak mataku, aku bisa merasakan air mataku turun seiring sakit yang menekan tepat di ulu hati. Aku bisa membayangkan dan menebak bagaimana piasmu saat itu. Hatiku kebas.
Air Mataku mengalir... Mengembalikan kesadaranku. Perasaanku bergemuruh.

Mengingat rasa yang tercipta malam itu dipenghujung Ramadan, menimbulkan perih yang nyata, seakan baru saja luka itu digoreskan. Kutatap jam dinding sudah menunjukan tengah malam dan hari sudah berganti. Ini Hari Kemenangan. Idul Fitri. Segera kuberanjak mengambil air wudhu dan berharap air mampu membilas rasa nyeri yang mulai merambat kesekujur tubuhku. Aku butuh Bercerita PadaNYA.

Sujud mengalirkan darah kembali ke kepalaku. Linangan air mata tak terbendung, perasaan tak karuan ini seperti hendak memecah dadaku. Terisak aku memohon ampunan dan aku memohon agar DIA Sang Maha Pengasih Dan Penyayang berkenan ‘memelukku’  malam itu menyeka diri ini yang penuh dosa dan kesakitan. 

Diatara isakan tangis, ada bahagia ku rasakan. Dipertemukan kembali dengan hari Kemenangan penuh rahmad.

Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar... Laaillaahaillaullaah huwaullahu Akbar....

Jelas kudengar jelas suara Ayahku bertakbir Kemenangan di Masjid dekat rumahku. Dalam hati ku ikut bertakbir. Terselip doa tentang rasa ini, tentang aku, tentang kau dan tentang kita. Kupejamkan mata, masih mengenakan mukenah sholat. Ku selimuti diri. Seakan helaian putih itu bisa membalut luka di hati ini.



0 comments:

Posting Komentar

 

Copyright © diendong. Template created by Volverene from Templates Block
WP by WP Themes Master | Price of Silver