Dekatkah
akal dengan hati?
Sirap akal memanggil-manggil janji yang bergelantungan di bibir-bibir buku. Tempat kau, aku dan bukan mereka mencorat-coret kebimbangan yang berdansa sepanjang bulan.
Bicara tentang bulan. Aku memeluk bulan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Tapi tidak pada bulan tersulung. Yang meremang, berkabut dan hilang bak cahaya-cahaya tersesat.
Tidak cukupkah melipat puisimu kemudian menyematkannya pada jejeran abad yang masih dikayuh? Tidak cukupkah melelah namun masih menyimpan gudang-gudang harapan yang menua? Aku menggigil bersedekap, menghitung2 bulir-bulir kepastian dan ketidakpastian..
Sementara di jantung yang terus berdetak.. Satu persatu angka-angka di kalender patah. Dan dua derita harus berpisah......
Sirap akal memanggil-manggil janji yang bergelantungan di bibir-bibir buku. Tempat kau, aku dan bukan mereka mencorat-coret kebimbangan yang berdansa sepanjang bulan.
Bicara tentang bulan. Aku memeluk bulan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Tapi tidak pada bulan tersulung. Yang meremang, berkabut dan hilang bak cahaya-cahaya tersesat.
Tidak cukupkah melipat puisimu kemudian menyematkannya pada jejeran abad yang masih dikayuh? Tidak cukupkah melelah namun masih menyimpan gudang-gudang harapan yang menua? Aku menggigil bersedekap, menghitung2 bulir-bulir kepastian dan ketidakpastian..
Sementara di jantung yang terus berdetak.. Satu persatu angka-angka di kalender patah. Dan dua derita harus berpisah......
#Repost
(* Thanx's mimi, what a indeed poem)
teruntuk #AqurianAndromeda
0 comments:
Posting Komentar